Harga Properti Naik, Bisakah Pekerja UMR Tetap Punya Rumah
KUNCI NARASI — Kenaikan harga properti yang terus terjadi di berbagai kota besar di Indonesia menimbulkan pertanyaan besar: apakah pekerja dengan Upah Minimum Regional (UMR) masih memiliki peluang untuk memiliki rumah sendiri? Situasi ini menjadi sorotan publik, mengingat perumahan merupakan kebutuhan primer sekaligus salah satu indikator kesejahteraan masyarakat.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa harga rumah di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung meningkat rata-rata 8–12% per tahun. Sementara itu, kenaikan UMR cenderung lebih lambat, berkisar 5–7% per tahun, sehingga gap antara penghasilan dan harga rumah semakin lebar.
Tantangan Pekerja UMR dalam Memiliki Rumah
Menurut pengamat properti, Arief Nugroho, pekerja dengan gaji UMR menghadapi beberapa tantangan utama:
-
Harga rumah jauh di atas kemampuan beli
Rumah tipe 36–45 m² di pinggiran kota besar saat ini bisa mencapai Rp400–600 juta, sedangkan UMR Jakarta 2025 berada di kisaran Rp5,5 juta per bulan. Artinya, pekerja membutuhkan lebih dari 60–70 tahun gaji penuh untuk membeli rumah tanpa bantuan KPR. -
Bunga KPR yang masih tinggi
Meski pemerintah memberikan subsidi bunga KPR bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), sebagian pekerja UMR masih kesulitan memenuhi persyaratan administrasi atau uang muka awal. -
Kenaikan biaya hidup lain
Pengeluaran untuk transportasi, kebutuhan pangan, dan kesehatan mengurangi kemampuan menabung untuk membeli rumah.
Strategi dan Solusi Pemerintah
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah meluncurkan beberapa program untuk membantu pekerja berpenghasilan rendah memiliki rumah:
-
Program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP): Memberikan KPR bersubsidi dengan bunga rendah bagi MBR.
-
Subsidi Uang Muka Rumah: Membantu pekerja mengumpulkan DP yang selama ini menjadi kendala utama.
-
Perumahan Bersubsidi: Pengembangan rumah tipe 21–36 m² dengan harga terjangkau di kawasan pinggiran kota.
Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, menekankan bahwa pemerintah akan terus memperluas program rumah terjangkau agar pekerja UMR tetap memiliki akses terhadap hunian layak.
Peran Sektor Swasta
Selain pemerintah, sektor swasta juga mulai beradaptasi. Beberapa pengembang properti meluncurkan perumahan mikro atau cluster dengan harga lebih rendah, model kepemilikan sistem cicilan ringan, serta kerja sama dengan fintech untuk mempermudah pembiayaan rumah bagi pekerja berpenghasilan rendah.
Menurut Direktur Pengembang Properti PT Graha Sejahtera, Teguh Santoso, tren saat ini menunjukkan bahwa perumahan kecil tipe 21–36 m² semakin diminati karena lebih realistis bagi pekerja UMR.
“Strategi kami adalah membuat unit rumah kecil dengan fasilitas minimal tetapi layak huni, dan memberikan cicilan yang sesuai kemampuan pekerja,” ujarnya.
Alternatif Lain: Hunian Vertikal
Apartemen subsidi atau hunian vertikal mulai dianggap sebagai solusi di kota besar dengan lahan terbatas. Dengan harga lebih rendah dibanding rumah tapak, hunian vertikal dapat menjadi pilihan pekerja UMR yang ingin tetap tinggal di pusat kota atau dekat tempat kerja.
Namun, beberapa pakar menekankan bahwa hunian vertikal harus memperhatikan kualitas dan lingkungan sosial agar tetap layak untuk jangka panjang.
Kesimpulan
Kenaikan harga properti memang menjadi tantangan besar bagi pekerja UMR. Namun, dengan kombinasi program pemerintah, inovasi sektor swasta, dan solusi hunian vertikal, masih ada peluang bagi pekerja berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah.
Meski demikian, keberhasilan program ini sangat bergantung pada kesadaran masyarakat untuk menabung, perencanaan finansial yang matang, serta dukungan kebijakan yang konsisten dari pemerintah.
Dengan langkah yang tepat, pekerja UMR tidak lagi hanya menjadi penonton dalam pasar properti, tetapi tetap bisa meraih rumah impian mereka meski harga properti terus meningkat.




