KUNCI NARASI — Wacana pembenahan sistem royalti musik kembali mencuat setelah sejumlah pelaku industri menilai bahwa mekanisme yang berlaku saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi kepentingan kreator, musisi, produser, serta pihak-pihak yang terlibat dalam rantai bisnis musik modern. Para pengamat menyebut, sistem royalti seharusnya tidak hanya berfokus pada distribusi hak cipta, tetapi juga mempertimbangkan Aspek Bisnis agar lebih menarik, transparan, dan berkelanjutan.
Ketua Asosiasi Industri Musik Indonesia (AIMI), Rafael Pratama, menyatakan bahwa perubahan pola konsumsi musik dari fisik ke digital mengharuskan adanya pembaruan signifikan dalam skema royalti. Menurutnya, era platform streaming saat ini menawarkan peluang besar sekaligus tantangan karena model pembagiannya sering kali dinilai kurang adil bagi musisi.
“Dalam industri musik digital, musisi tidak hanya butuh perlindungan hak cipta, tetapi juga skema bisnis yang dapat menjamin pendapatan berkelanjutan. Sistem royalti yang menarik harus transparan, mudah dipantau, dan memberi nilai ekonomi lebih besar kepada kreator,” ujarnya dalam sebuah diskusi industri musik di Jakarta, Minggu (17/11).
Masalah Transparansi dan Pembagian Pendapatan
Salah satu kritik terbesar terhadap sistem royalti saat ini adalah kurangnya transparansi alur pendapatan. Banyak musisi mengaku tidak mengetahui secara detail berapa pendapatan yang dihasilkan dari karya mereka di berbagai platform, terutama dari fitur seperti streaming, iklan, hingga penggunaan di media sosial.
Beberapa pelaku industri juga menilai bahwa lembaga manajemen kolektif (LMK) harus meningkatkan tata kelola agar distribusi royalti lebih cepat dan akurat. Selain itu, teknologi Artificial Intelligence (AI) yang mampu mengidentifikasi lagu secara otomatis di berbagai platform publik disebut perlu dimanfaatkan secara maksimal.
Analis bisnis musik, Nadia Rachman, menjelaskan bahwa industri musik global saat ini mulai bergeser menuju model “user-centric payment system”, di mana royalti dibagikan berdasarkan konsumsi individual, bukan total pendapatan platform. Model ini dinilai lebih adil bagi musisi independen.
“Ketika sistem berorientasi bisnis dan berbasis pengguna, musisi yang punya komunitas loyal akan mendapatkan royalti yang lebih proporsional. Ini membuat ekosistem musik lebih sehat,” jelasnya.
Peran Platform Streaming dan Konser Digital
Platform musik digital kini menjadi sumber pendapatan terbesar dalam industri musik, menggeser penjualan album fisik. Namun para ahli menilai platform tersebut perlu menciptakan skema yang lebih menarik bagi musisi, misalnya:
-
Pembagian royalti yang lebih fleksibel berdasarkan performa individual.
-
Fitur monetisasi tambahan, seperti donasi penggemar atau konten eksklusif.
-
Kemitraan promosi yang membantu musisi memperluas jangkauan pendengar.
Selain itu, konser digital juga ikut berperan dalam skema royalti baru. Dengan naiknya minat terhadap konser virtual dan hybrid, peluang pendapatan kreator semakin besar—namun sistem pembagian royalti untuk format ini masih dalam tahap pengembangan.
Kreator Mendesak Pemerintah Perbarui Regulasi
Para pelaku industri mendesak pemerintah agar memperbarui regulasi hak cipta dan sistem royalti agar selaras dengan perkembangan ekosistem musik digital. Regulasi yang lebih modern diharapkan dapat memberikan kepastian hukum sekaligus mendorong inovasi bisnis musik.
Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), menyatakan sedang meninjau ulang aturan terkait royalti dan model bisnis musik digital. DJKI mengakui bahwa perkembangan teknologi dan dinamika industri membutuhkan sistem yang jauh lebih adaptif.
“Kami ingin ekosistem musik Indonesia berkembang sehat. Musisi harus mendapat manfaat ekonomi yang layak dari setiap penggunaan karyanya,” ujar perwakilan DJKI.
Mengarah ke Ekosistem Musik yang Lebih Kompetitif
Dengan berbagai dorongan dari pelaku industri, musisi, platform digital, hingga pemerintah, pembaruan sistem royalti menjadi keharusan agar industri musik Indonesia mampu bersaing dengan pasar global. Skema royalti yang memperhitungkan sisi bisnis diyakini mampu menciptakan iklim yang lebih menarik bagi investasi, keberlanjutan karier musisi, serta pertumbuhan kreator baru.
Jika pembaruan sistem ini berjalan efektif, Indonesia berpotensi menciptakan ekosistem musik yang lebih modern, transparan, dan menguntungkan semua pihak—mulai dari musisi independen, label rekaman, hingga platform distribusi.




