Kuncinarasi.com — Indonesia tengah menjajaki kerja sama dengan Tenova, perusahaan teknologi baja asal Eropa, untuk mengadopsi teknologi baja rendah emisi. Langkah ini menjadi bagian dari strategi nasional dalam mengurangi jejak karbon industri baja yang selama ini termasuk salah satu kontributor besar emisi gas rumah kaca. Teknologi baru ini diprediksi akan membawa perubahan signifikan bagi sektor industri, ekonomi, dan lingkungan.
Tenova dan Inovasi Baja Rendah Emisi
Tenova dikenal sebagai pionir teknologi baja hijau yang mampu menekan emisi karbon hingga 30-50 persen dibandingkan metode produksi konvensional. Teknologi ini mengandalkan penggunaan energi bersih, proses reduksi karbon, serta integrasi sistem digital untuk efisiensi produksi.
“Kami menawarkan solusi teknologi yang ramah lingkungan tanpa mengurangi kualitas baja. Indonesia bisa menjadi salah satu negara pertama di Asia Tenggara yang mengadopsi teknologi ini secara luas,” ujar Direktur Tenova untuk Asia, Marco De Santis, dalam pertemuan dengan Kementerian Perindustrian RI.
Potensi Dampak Lingkungan
Penggunaan teknologi baja rendah emisi berpotensi menurunkan jumlah emisi CO₂ industri baja di Indonesia secara signifikan. Saat ini, sektor baja menyumbang sekitar 7-10 persen dari total emisi industri nasional. Dengan adopsi teknologi Tenova, angka tersebut bisa berkurang drastis, membantu Indonesia mencapai target net zero emission pada 2060.
Ahli lingkungan dari Universitas Indonesia, Dr. Siti Rahmawati, menilai, “Adopsi teknologi ini akan menjadi game changer untuk industri berat di Indonesia. Selain menekan emisi, teknologi ini juga mengurangi limbah berbahaya dan konsumsi energi fosil.”
Manfaat Ekonomi dan Industri
Selain dampak lingkungan, teknologi ini diyakini membawa keuntungan ekonomi jangka panjang. Produksi baja rendah emisi dapat meningkatkan efisiensi energi, menurunkan biaya operasional, serta membuka peluang ekspor produk ramah lingkungan ke pasar global yang kini semakin menuntut standar hijau.
“Baja hijau akan memiliki nilai tambah tinggi di pasar internasional. Dengan mengadopsi teknologi ini, Indonesia bisa meningkatkan daya saing industri baja sekaligus menarik investasi asing,” ujar Menteri Perindustrian RI, Agus Santoso.
Tantangan Implementasi
Meski menjanjikan, implementasi teknologi baja rendah emisi menghadapi sejumlah tantangan. Investasi awal yang besar menjadi kendala utama, karena pabrik harus mengubah sistem produksi yang sudah berjalan bertahun-tahun. Selain itu, tenaga kerja perlu dilatih untuk mengoperasikan teknologi baru, dan regulasi nasional harus menyesuaikan untuk mendukung transisi hijau.
“Kita tidak bisa instan. Perlu roadmap yang jelas, insentif fiskal, dan dukungan pemerintah untuk meminimalkan risiko investasi. Tantangan ini bisa diatasi jika semua pemangku kepentingan bekerja sama,” jelas Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian, Irwan Pratama.
Dampak Sosial dan Tenaga Kerja
Perubahan teknologi juga berdampak pada tenaga kerja. Sektor baja akan membutuhkan keterampilan baru, terutama dalam mengoperasikan peralatan otomatis dan sistem digitalisasi produksi. Pemerintah dan perusahaan diharapkan menyediakan program pelatihan agar pekerja lama tidak terdampak negatif.
“Transisi ke baja hijau bukan sekadar teknologi, tapi juga soal pengembangan sumber daya manusia. Kita harus memastikan pekerja dapat beradaptasi sehingga manfaatnya dirasakan secara luas,” ujar Dr. Siti Rahmawati.
Peluang Investasi dan Kerja Sama Internasional
Kerja sama dengan Tenova membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi asing di sektor industri hijau. Selain itu, kolaborasi riset dan pengembangan dapat mempercepat inovasi dalam produksi baja rendah emisi. Pemerintah menekankan bahwa teknologi ini dapat dijadikan model untuk sektor industri lain seperti semen, petrokimia, dan energi.
“Kita bisa memanfaatkan teknologi ini sebagai jembatan menuju industri hijau secara menyeluruh. Investasi dan kerja sama internasional menjadi kunci agar transisi lebih cepat dan efektif,” ujar Menteri Agus Santoso.
Respon Industri Baja Nasional
Beberapa perusahaan baja nasional telah menyatakan ketertarikan pada teknologi Tenova. Mereka melihat potensi efisiensi biaya jangka panjang, kepatuhan terhadap regulasi lingkungan, dan peluang ekspor produk ramah lingkungan. Namun, beberapa pelaku industri juga menekankan perlunya insentif pemerintah untuk memudahkan investasi awal yang cukup besar.
“Teknologi ini menarik, tapi biaya awalnya cukup tinggi. Kami berharap ada dukungan fiskal dan kemudahan perizinan dari pemerintah untuk mempercepat adopsi,” kata Direktur PT Krakatau Steel, Rudi Hartono.
Menuju Industri Baja Ramah Lingkungan
Langkah Indonesia menjajaki teknologi baja rendah emisi Tenova menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mendukung transformasi industri hijau. Jika berhasil, negara ini akan menjadi contoh bagi kawasan Asia Tenggara dalam produksi industri berat yang berkelanjutan.
“Ini saatnya industri berat Indonesia bergerak menuju rendah emisi. Dampaknya bukan hanya lingkungan, tetapi juga ekonomi dan daya saing global,” tegas Menteri Perindustrian.
Dengan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan perusahaan teknologi internasional, Indonesia berpeluang mengurangi jejak karbon, meningkatkan kualitas produk, dan menciptakan model industri yang berkelanjutan untuk masa depan.




